Wednesday, November 28, 2012

AYAH MENGGENDONG JENAZAH ANAKNYA-DIUSIR DI KRL

Dimanakah sebenarnya para penguasa negeri ini, dimanakah para politikus yang ketika masa kampanye caleg pilpres, pilbup, pilwali dan pil-pil lainnya mengobral janji akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Apakah negeri ini masih memiliki penguasa yang punya hati nurani ketika melihat di sekeliling mereka masih begitu banyak rakyat yang untuk menyambung hidup saja begitu susah, bahkan di cerita berikut untuk menguburkan mayat anaknya saja tidak memiliki uang.

PEJABAT Jakarta seperti ditampar...Seorang warganya harus menggendong mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah,Saya Juga nggak Kuat Membaca Kisah Kejadian Ini,,Bacalah dengan Seksama Teman.

Tahun 2005 ,Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta - Bogor pun Geger..Sebab, mereka tahu bahwa seorang Pemulung bernama Supriono (38 thn) tengah menggendong mayat anak, Khaerunisa (3 thn).
Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta, lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. “Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari”. Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Musriki berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka, biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke kantor polisi Tebet. Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan.
Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku. Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi Karen atidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor.

Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. “Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia”, ujarnya.

Lalu dimanakah perwujudan dari isi Undang Undang Dasar negara ini ( Pasal 34 UUD 1945) yang menjamin kehidupan rakyatnya baik kaum miskin dan anak yatim dipelihara oleh negara. Undang-Undang Dasar merupakan amanah dari para pendiri negara ini yang harus dilaksanakan oleh siapapun yang berkuasa di negara ini. Lalu bagaimana kenyataannya. 

Respon atas Surat Klarifikasi Jenazah a/n Hairunnisah Dari RSCM:

 

Berikut isi surat tersebut:
Nomor    : 10926/TU.S/02/VI/2011 Lampiran
Hal    : Klarifikasi Jenazah a/n Hairunnisah
Yth. Managing Director Kompasiana PT. Kompas Cyber Media
Gedung Kompas Gramedia, Unit II Lt. 5 Jl. Palmerah Selatan No. 22 - 28 Jakarta 10270, Indonesia.
Dengan hormat,
Menanggapi berita yang dimuat dalam Kompasiana tertanggal 18 Juni 2011 pukul 19:17 WIB dengan judul “Tragis, Menggendong Jenazah Anak dari RSCM sampai Bogor Karena Tak Mampu Bayar Ambulance” (oleh John Willi), dengan ini kami sampaikan bahwa
1. Kejadian seorang Bapak (Supriono) pemulung yang menggendong jenazah anak Nur Hairunrusah umur 3 tahun yang dalam pemberitaan mengesankan bahwa hal itu baru saja terjadi, sebenarnya kejadian tersebut terjadi pada tanggal 5 Juni 2005, pukul 15:20, bukan tahun 2011. Dari data arsip jenazah RSCM tidak melakukan otopsi karena keluarga menolak dan dibawa pulang pada pukul 15:40 WIB.
2. Merujuk pada tata tertib Kompasiana pada Definisi Umum point 5 yang menyatakan bahwa “Admin berhak untuk tidak menayangkan (unpublish) atau menghapus konten yang telah ditempatkan dan atau ditayangkan di Kompasiana. Admin juga memiliki kewenangan untuk memberi peringatan, menutup, memblokir dan atau menghapus akun di Kompasiana.” Seharusnya hal mil tidak terjadi, apabila terlebih dahulu dilakukan konfirmasi dengan pihak RSCM.
3. Berdasarkan point 2 di atas, karena RSCM sebagai Public Service maka pemberitaan tersebut mengakibatkan citra RSCM menjadi kurang balk di mata masyarakat terlebih dengan telah diterbit ulangkan di blog yang lain. Oleh karena itu, kami harap saudara segera meluruskan pemberitaan dan merehabilitasi nama baik RSCM.


Terlampir copy surat pernyataan menolak untuk diotopsi. Demikian agar menjadi maklum.

Atas perhatiannya kami haturkan terima kasih.

Ditrektur utama,
Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU-K
NIP 195507271980101001


Sumber:: Kompas.com

No comments:

Post a Comment