CIYUS,,,,MIAPAH.....
”Ciyus... miapah!
Ha-ha-ha…,” siswi-siswi SMA PGRI 1 Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat,
tertawa-tawa saat ditanya mengenai bahasa yang sedang populer di
kalangan anak-anak seusia mereka.
Selepas pelajaran olahraga,
Risna, Upi, dan kawan-kawan duduk-duduk santai sambil menyantap jajanan
di warung dekat sekolah. Bahasa semacam itu mereka serap dari iklan di
televisi, jejaring sosial, juga sinetron yang populer di kalangan
remaja.
”Setiap periode selalu melahirkan ragam bahasa seperti
itu. Bahasa semacam itu sudah populer sejak tahun 1970-1980-an yang
biasa disebut bahasa prokem,” kata dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Padjadjaran, Bandung, Nana Suryana.
Kala itu,
beredar istilah unik, seperti bokap (ayah), nyokap (ibu), dan doku
(uang). Konon orang-orang yang biasa hidup di jalanan sering memakai
bahasa prokem, kemudian diadopsi oleh kalangan intelektual, termasuk
pelajar dan mahasiswa. ”Dasarnya kalau tidak salah sih (dari) bahasa
Betawi,” tutur Nana.
Menurut dia, bahasa gaul yang kini digunakan anak muda, seperti ciyus miapah, merupakan bahasa yang kreatif.
Lebih ekspresif
Menurut
Fatih Zam, penulis yang alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Padjadjaran,
tak masalah masyarakat menggunakan bahasa semacam itu untuk pergaulan
sehari-hari. Dengan istilah-istilah itu, masyarakat menjadi lebih
ekspresif. Selama ini, ia belum melihat dampak negatif dari penggunaan
bahasa itu. ”Saya belum melihat gara-gara ciyus miapah kemudian
berantem. Saya kira ini semacam bumbu untuk pertemanan,” tambah penulis
novel Khadijah Mahadaya Cinta itu.
Menurut dia, bahasa digunakan sesuai kesepakatan dan bahasa bersifat menjembatani, bukan mempersulit.
”Bahasa
adalah produk budaya. Jika ingin melihat kondisi suatu zaman, lihatlah
produk budayanya. Kita bisa melihat salah satu dampak dari fenomena
ini,” kata Fatih. Ia mencontohkan, sebuah jasa penyedia telekomunikasi
(provider) menggunakan istilah itu pada iklan karena melihat budaya yang
sedang berlangsung di masyarakat. ”Bahasa dan produk budaya merupakan
sesuatu yang saling memberi timbal balik. Bahasa bisa melahirkan budaya,
budaya bisa memunculkan bahasa,” imbuhnya.
Guru Bahasa Indonesia
SMA Negeri Jatinangor, Tuti Surtini, beranggapan, penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar harus tetap dipertahankan sesuai situasi
si pemakai bahasa. Tuti mengaku pernah menggunakan istilah semacam itu
di kelas saat situasi tidak begitu formal.
”Untuk mencairkan suasana saja, lah,” tambahnya seraya tersenyum.
Nana
Suryana kembali menambahkan, bahasa Indonesia yang baik dan benar sudah
diajarkan di lingkungan instansi pendidikan formal. Ia berharap
masyarakat sudah mengerti bagaimana memosisikan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar di tempat yang tepat. Jika sedang pergi ke
mal, ia menggunakan bahasa nonformal. Tidak manusiawi jika sedang di
mal dan bertemu dengan mahasiswa, ia menyapa, ”Hai mahasiswaku, sedang
apakah?”
Nana mengimbau untuk tak perlu risau dengan keberadaan
istilah-istilah yang terus berkembang ini. Penggunaan bahasa alay tidak
akan menggerus kelestarian sumpah pemuda. Justru yang mengancam
penggunaan bahasa yang satu, bahasa Indonesia, adalah bahasa asing yang
semakin merasuk ke dalam ranah komunikasi rakyat Indonesia. Masyarakat
seperti salah kaprah, menganggap bahwa bahasa asing itu keren, sementara
bahasa Indonesia kuno.
Bahasa pemersatu kita tetap bahasa
Indonesia. Bahasa alay ataupun prokem hanyalah bersifat temporer dan
akan terus berganti. Fatih menyatakan, keragaman bahasa seharusnya
disyukuri. ”Ngindung ka waktu ngabapa ka zaman.” Begitulah istilah Sunda
yang menurut dia tepat untuk menanggapi hal itu. ”Artinya, harus
menyesuaikan dengan waktu dan zaman,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment